Sepenggal Kisah di Penghujung Senja (1)

Asap putih mengepul dari cangkir berwarna jingga itu. Seorang gadis memainkan tangannya di bibir cangkir itu. Sebuah novel tergeletak terbuka di atas meja. Matanya yang berbingkai kacamata itu bergerak-gerak mengikuti kata demi kata dalam buku yang ia baca. Sambil sesekali membuka halaman.
Terpaut dua meja dari gadis itu, dalam kafe yang sama, seorang pemuda memperhatikan setiap gerak-gerik gadis itu. Setiap ekspersi yang diperlihatkan gadis itu selalu menarik perhatiannya. Sesekali ia mengangkat kameranya untuk mengabadikan gadis yang seperti tenggelam dalam buku yang ia baca.
Pria berkaus biru langit itu memperhatikan gadis itu sekali lagi. Memasukkan semua detail tentang gadis itu ke dalam ingatannya. Cangkir jingga, yang ia yakin bukan milik kafe itu. Kacamata hitam keunguan. Mata bulat. Pipinya yang tembam. Kemeja hijau tosca. Rok panjang hitam. Juga tas berwarna tosca yang ia geletakan di kursi sampingnya.
Pintu kafe terbuka. Gadis berbaju cokelat memasuki kafe yang semakin siang semakin sesak oleh pengunjung. Perhatian pemuda itu beralih. Ia tersenyum saat mengenali sosok yang mendekati meja gadis bercangkir jingga itu.
Ia melirik lagi meja gadis itu. Gadis bercangkir jingga, pikirnya geli. Tapi itu bisa menjadi julukan yang bagus untuk gadis tersebut.
Entah karena dorongan apa, akhirnya pemuda itu berdiri dan melangkah menuju gadis bercangkir jingga itu yang sedang mendongakan kepalanya ke arah gadis berbaju coklat itu.
***
“Jingga! Kamu ini. Selalu saja tidak memperhatikan sekitar kalau sedang baca buku,” cerocos gadis berwajah cantik itu. Mulutnya ditekuk ke bawah untuk menunjukkan kekesalannya.
Gadis yang dipanggil Jingga itu mendongak sambil tersenyum simpul. Gadis itu pun mengambil tas toscanya dan mempersilakan sahabatnya itu untuk duduk.
“Sini duduk dulu Ara,” katanya santai sambil menaruh tas tosca miliknya di atas meja.
Ara, gadis berbaju coklat itu menurut tapi masih memajukan bibirnya tanda ia sedang kesal. Ia pun memperhatikan sahabatnya yang entah kenapa telah tenggelam lagi dengan novel dihadapannya. Ara mendengus. Apa ia kurang menarik untuk diperhatikan? Bahkan sahabatnya pun lebih memilih untuk mencurahkan seluruh perhatiannya pada sebuah novel.
Akhirnya Ara memutuskan pergi ke etalase kue karena ia yakin sahabatnya tidak akan selesai dalam setengah jam kedepan. Daripada ia bosan dan kelaparan menunggu Jingga, lebih baik ia menyingkirkan satu kemungkinannya.
“Ara!”
Kepala Ara berputar cepat mencari suara yang memanggilnya. Matanya membelalak ketika menyadari pria berkaus biru langit sedang berdiri sambil melambaikan tangannya dua meja darinya. Ia tersenyum ketika menyadari pria itu adalah Rama, tetangga masa kecilnya. Langkah kaki Ara pun berbalik menuju meja Rama.
“Hei! Kamu lagi ngapain disini, Ram?” kata Ara saat ia mencapai meja Rama.
Rama menjawab dengan mengangkat cangkir teh dan kameranya. Ara mengangguk-angguk mengerti apa yang dimaksud Rama. Sejak kecil memang teh dan kamera adalah hidupnya Rama. Dimanapun dan kapanpun, Rama pasti sedang ditemani teh dan atau kameranya.
“Siapa dia?” tanya Rama mengagetkan. Ara tak menyangka bahwa Rama akan menanyakan sahabatnya, si maniak novel itu.
“Dia sahabatku, Jingga. Maniak novel. Kalau kamu cari teman mengobrol, akan kucarikan temanku yang lain. Ia sangat mebosankan. Sungguh. Apalagi jika sudah baca novel. Kamu bakal dikacangin seharian. Tujuh hari tujuh malampun aku pernah,” cerocos Ara yang sepertinya memang sedang kesal dengan sahabatnya itu.
“Nama yang unik. Jingga. Aku yakin ia tak semembosankan itu. Karena kalau iya kamu sudah angkat kaki dari sini saat melihatnya sedang membaca novel,”
“Ya, kamu benar sih. Ia sahabat yang luar biasa kalau kamu sudah bisa masuk ke lingkaran kecilnya,”
“Hmm?”
“Ah, kamu akan tau kalau sudah kenal. Ayo kukenalkan,”
Ara melangkah ke arah mejanya lagi dengan Rama mengikuti di belakangnya sambil tersenyum simpul.
***
Jingga tidak menyangka akan mendapat gangguan yang sangat besar saat Ara kembali ke meja. Biasanya Ara akan diam sambil makan sepiring kue atau mengutak-atik gadget. Untuk kali ini, bahkan sebelum Ara duduk, ia sudah menarik novel di meja.
Jingga mendengus sembari mengangkat kepalanya. Ia bersiap menyemprot sahabatnya itu saat ia menyadari cengiran Ara yang tak biasa. Juga seseorang dibelakangnya. Pria berkaus biru langit itu tersenyum saat tatapan mereka bertemu. Jingga merasakan jantungnya berdetak sedikit lebih kencang.
“Jingga, hidupmu bukan cuma novel. Kalau kamu tadi berkeliling sedikit saja kamu pasti sudah dapat pacar,” kata Ara sambil menunjukkan giginya yang sangat rapi.
Jingga mendengus. Ia tidak peduli dengan sekeliling apalagi pacar. Yang ia pedulikan sekarang kenapa sahabatnya itu merebut novel yang sedang ia baca. Padahal seperti ada aturan tak tertulis bahwa jika jingga sedang membaca novel atau mengamati langit senja, Ara tidak akan mengganggu. Begitupun jika Ara sedang di salon atau nonton drama korea, Jingga tidak akan mengganggu.
“Jingga kenalkan ini tetanggaku dulu, Rama,” kata Ara sambil menunjuk pria berkaus biru langit di belakangnya.
Jingga berdiri dan melambaikan tangannya.
“Hai Rama! Kenalkan aku Jingga sahabat tetanggamu yang sangat mengesalkan itu,”
Jingga berkata sambil mencoba tersenyum, yang entah kenapa otot-otot wajahnya seakan menolak. Sehingga terciptalah senyum yang terkesan sinis.
Ara berjengit melihat senyum Jingga. Ini akan menimbulkan kesan buruk bagi Rama. Ara yakin. Jingga pun menyadari arti jengitan sahabatnya itu.
Namun tak seperti yang disangka, Rama tertawa melihat kedua gadis itu. Jingga dan Ara sontak menoleh. Rama masih tertawa pelan.
“Kalian berdua lucu deh. Sahabatan tapi saling ngatain. Aku boleh gabung ya. Ga seru kalo sendirian,” kata Rama masih sambil tertawa.
Seketika Jingga melihat raut menyenangkan dari wajah Rama. Tawanya pelan tapi bisa membawa siapa saja yang mendengarnya ikut tertawa. Begitupun Jingga. Karena tanpa sadar ia sudah terkekeh.
Satu jam berikutnya pun berlalu cepat. Meja itu dipenuhi gelak tawa ketiga remaja itu. Tak ada lagi Jingga yang sibuk sendiri membaca novel atau Ara yang sibuk mendengus dan menggerutu.
***

Untuk apa blog ini?

Jadi, karena kegabutanku mulai menunjukkan tanda-tanda tidak baik dan akan berujung pada kemalasan, aku memutuskan untuk mebuat blog. Setidaknya ada hal bisa aku lakukan disaat malas atau kebanyakan waktu sedang melanda. Semoga blog ini bisa bermanfaat bagi siapapun yang membacanya. Terimakasih