Asap
putih mengepul dari cangkir berwarna jingga itu. Seorang gadis
memainkan tangannya di bibir cangkir itu. Sebuah novel tergeletak
terbuka di atas meja. Matanya yang berbingkai kacamata itu
bergerak-gerak mengikuti kata demi kata dalam buku yang ia baca.
Sambil sesekali membuka halaman.
Terpaut
dua meja dari gadis itu, dalam kafe yang sama, seorang pemuda
memperhatikan setiap gerak-gerik gadis itu. Setiap ekspersi yang
diperlihatkan gadis itu selalu menarik perhatiannya. Sesekali ia
mengangkat kameranya untuk mengabadikan gadis yang seperti tenggelam
dalam buku yang ia baca.
Pria
berkaus biru langit itu memperhatikan gadis itu sekali lagi.
Memasukkan semua detail tentang gadis itu ke dalam ingatannya.
Cangkir jingga, yang ia yakin bukan milik kafe itu. Kacamata hitam
keunguan. Mata bulat. Pipinya yang tembam. Kemeja hijau tosca. Rok
panjang hitam. Juga tas berwarna tosca yang ia geletakan di kursi
sampingnya.
Pintu
kafe terbuka. Gadis berbaju cokelat memasuki kafe yang semakin siang
semakin sesak oleh pengunjung. Perhatian pemuda itu beralih. Ia
tersenyum saat mengenali sosok yang mendekati meja gadis bercangkir
jingga itu.
Ia
melirik lagi meja gadis itu. Gadis bercangkir jingga, pikirnya
geli. Tapi itu bisa menjadi julukan yang bagus untuk gadis tersebut.
Entah
karena dorongan apa, akhirnya pemuda itu berdiri dan melangkah menuju
gadis bercangkir jingga itu yang sedang mendongakan kepalanya ke arah
gadis berbaju coklat itu.
“Jingga!
Kamu ini. Selalu saja tidak memperhatikan sekitar kalau sedang baca
buku,” cerocos gadis berwajah cantik itu. Mulutnya ditekuk ke bawah
untuk menunjukkan kekesalannya.
Gadis
yang dipanggil Jingga itu mendongak sambil tersenyum simpul. Gadis
itu pun mengambil tas toscanya dan mempersilakan sahabatnya itu untuk
duduk.
“Sini
duduk dulu Ara,” katanya santai sambil menaruh tas tosca miliknya
di atas meja.
Ara,
gadis berbaju coklat itu menurut tapi masih memajukan bibirnya tanda
ia sedang kesal. Ia pun memperhatikan sahabatnya yang entah kenapa
telah tenggelam lagi dengan novel dihadapannya. Ara mendengus. Apa
ia kurang menarik untuk diperhatikan? Bahkan sahabatnya pun lebih
memilih untuk mencurahkan seluruh perhatiannya pada sebuah novel.
Akhirnya Ara memutuskan pergi ke etalase kue karena ia yakin sahabatnya tidak
akan selesai dalam setengah jam kedepan. Daripada ia bosan dan
kelaparan menunggu Jingga, lebih baik ia menyingkirkan satu
kemungkinannya.
“Ara!”
Kepala
Ara berputar cepat mencari suara yang memanggilnya. Matanya
membelalak ketika menyadari pria berkaus biru langit sedang berdiri
sambil melambaikan tangannya dua meja darinya. Ia tersenyum ketika
menyadari pria itu adalah Rama, tetangga masa kecilnya. Langkah kaki
Ara pun berbalik menuju meja Rama.
“Hei!
Kamu lagi ngapain disini, Ram?” kata Ara saat ia mencapai meja
Rama.
Rama
menjawab dengan mengangkat cangkir teh dan kameranya. Ara
mengangguk-angguk mengerti apa yang dimaksud Rama. Sejak kecil memang
teh dan kamera adalah hidupnya Rama. Dimanapun dan kapanpun, Rama
pasti sedang ditemani teh dan atau kameranya.
“Siapa
dia?” tanya Rama mengagetkan. Ara tak menyangka bahwa Rama akan
menanyakan sahabatnya, si maniak novel itu.
“Dia
sahabatku, Jingga. Maniak novel. Kalau kamu cari teman mengobrol,
akan kucarikan temanku yang lain. Ia sangat mebosankan. Sungguh.
Apalagi jika sudah baca novel. Kamu bakal dikacangin seharian. Tujuh
hari tujuh malampun aku pernah,” cerocos Ara yang sepertinya memang
sedang kesal dengan sahabatnya itu.
“Nama
yang unik. Jingga. Aku yakin ia tak semembosankan itu. Karena kalau
iya kamu sudah angkat kaki dari sini saat melihatnya sedang membaca
novel,”
“Ya,
kamu benar sih. Ia sahabat yang luar biasa kalau kamu sudah bisa
masuk ke lingkaran kecilnya,”
“Hmm?”
“Ah,
kamu akan tau kalau sudah kenal. Ayo kukenalkan,”
Ara
melangkah ke arah mejanya lagi dengan Rama mengikuti di belakangnya
sambil tersenyum simpul.
Jingga
tidak menyangka akan mendapat gangguan yang sangat besar saat Ara
kembali ke meja. Biasanya Ara akan diam sambil makan sepiring kue
atau mengutak-atik gadget. Untuk kali ini, bahkan sebelum Ara
duduk, ia sudah menarik novel di meja.
Jingga
mendengus sembari mengangkat kepalanya. Ia bersiap menyemprot
sahabatnya itu saat ia menyadari cengiran Ara yang tak biasa. Juga
seseorang dibelakangnya. Pria berkaus biru langit itu tersenyum saat
tatapan mereka bertemu. Jingga merasakan jantungnya berdetak sedikit
lebih kencang.
“Jingga,
hidupmu bukan cuma novel. Kalau kamu tadi berkeliling sedikit saja
kamu pasti sudah dapat pacar,” kata Ara sambil menunjukkan giginya
yang sangat rapi.
Jingga
mendengus. Ia tidak peduli dengan sekeliling apalagi pacar. Yang ia
pedulikan sekarang kenapa sahabatnya itu merebut novel yang sedang ia
baca. Padahal seperti ada aturan tak tertulis bahwa jika jingga
sedang membaca novel atau mengamati langit senja, Ara tidak akan
mengganggu. Begitupun jika Ara sedang di salon atau nonton drama
korea, Jingga tidak akan mengganggu.
“Jingga
kenalkan ini tetanggaku dulu, Rama,” kata Ara sambil menunjuk pria
berkaus biru langit di belakangnya.
Jingga
berdiri dan melambaikan tangannya.
“Hai
Rama! Kenalkan aku Jingga sahabat tetanggamu yang sangat mengesalkan
itu,”
Jingga
berkata sambil mencoba tersenyum, yang entah kenapa otot-otot
wajahnya seakan menolak. Sehingga terciptalah senyum yang terkesan
sinis.
Ara
berjengit melihat senyum Jingga. Ini akan menimbulkan kesan buruk
bagi Rama. Ara yakin. Jingga pun menyadari arti jengitan sahabatnya
itu.
Namun
tak seperti yang disangka, Rama tertawa melihat kedua gadis itu.
Jingga dan Ara sontak menoleh. Rama masih tertawa pelan.
“Kalian
berdua lucu deh. Sahabatan tapi saling ngatain. Aku boleh gabung ya.
Ga seru kalo sendirian,” kata Rama masih sambil tertawa.
Seketika
Jingga melihat raut menyenangkan dari wajah Rama. Tawanya pelan tapi
bisa membawa siapa saja yang mendengarnya ikut tertawa. Begitupun
Jingga. Karena tanpa sadar ia sudah terkekeh.
Satu
jam berikutnya pun berlalu cepat. Meja itu dipenuhi gelak tawa ketiga
remaja itu. Tak ada lagi Jingga yang sibuk sendiri membaca novel atau
Ara yang sibuk mendengus dan menggerutu.
***