Ranca Upas dan Kisah Tentang Balasan


Ranca upas. Udah dari lama pengen kesini tapi garagara so sibuk bgt akhirnya belom kesampean mulu. Terus tibatiba di grup IAIC bandung mewacanakan kesini. Tertarik. Banget. Tapi karena berhubung ITB udah libur jadi pasti udah pada pulang. Tapi mungkin emang rezeki nya ada aja jalannya dan temen nya.
Berhubung ini trip jauh momotoran yg pertama buat aku yg didapetin pertama pasti pegel. Pegel-pegel seluruh badan. Sebenernya nekat ngendarain padahal sama mamah juga bilang jangan aku yg nyetir. Tapi penasaran bisa gak sejauh itu nyetir. Soalnya temenku juga cewe kuat bgt travellingan nyetir motor ke sukabumi (kalo gak salah). Ya walaupun akhirnya pas perjalanan pulang, nyampe telkom diganti karena udah pegel bgt.


Tapi ada satu hal yg menggelitik bgt waktu perjalanan pulang. Jadi waktu pulang tuh jalannya mau lewat buah batu. Dan itu ternyata melewati jalan yg MasyaAllah macet bgt. Macet garagara jalannya kecil tapi mobil motor angkot banyak bgt yg lewat. Takut ketinggalan rombongan jadi aja akunya maen seruduk. Terus tibatiba ada ibuibu yg ngelawan arus. Mungkin maksudnya deket jadi nanggung kalo nyebrang dulu apa gimana. Tapi tetep aja jadi nya aku ngegerutu. "Mau kemana atuh bu ih?!" Eh taunya gak lama dari itu, takut ketinggalan rombongan aku maen masuk aja padahal liat ada motor mau lewat. Gak nabrak sih. Tapi alhasil motor itu kehalangan jalannya sama motor aku. Terus taunya baru aja mau jalan aku denger ibu yg dibonceng ngomel. "Euh si neng mah. Geus nyaho ieu rek asup kalahka maju. B*l*g*g." MasyaAllah. Tibatiba aja weh keinget ibu tadi yg ngelawan arus. Tadi mungkin ibunya juga sakit hati ya aku ngegerutu gitu. Soalnya ngedenger ibu tadi ngomel kok rasanya sakitnya. Antara gak ikhlas dikatain sama ya bersalah karena emang tadi maen seruduk aja.
Dari kejadian itu entah kenapa aku sadar.  Bahwa balasan atau karma tuh ada dan enggak mungkin salah orang. Dan betapa Allah tuh sayang banget sama kita karena ngasih balasan nya masih saat kita di dunia yang pasti gaada seberapanya dibanding balasan di akhirat. Udah beberapa kali aku kaya gini. Waktu itu nabrak motor depan. Ga nyampe satu jam kemudian ditabrak dari belakang. Yang untung keduanya gak kenapa kenapa. Kemaren ngegerutuin orang. Eh gak nyampe setengah jam kemudian dibales diomelin. Ya jadi pelajaran aja bahwa baik buruk apa yang kita lakuin pasti ada balasannya dan berharap aja balasannya masih saat kita masih di dunia.

Satu Tahun LDR

Keluarga kedua yang paling sering bikin baper.
Keluarga kedua yang paling sering jadi tempat pelarian kalo jenuh.
Keluarga kedua yang walaupun nyebelinnya minta ampun selalu ada cara untuk memaafkan.
Keluarga kedua yang gabisa bikin aku left grup lebih dari seminggu.
Keluarga kedua yang walaupun sampe nangis-nangis kesel tapi selalu bisa bikin ketawa setelahnya.
Keluarga kedua yang banyak pelajaran yang bisa diambil dari ke"bandel"annya.
Keluarga kedua yang entah kenapa kalo udah bikin bawa perasaan sampe seminggu lebih ga sembuh.
Keluarga kedua yang bisa ngasih energi positif walaupun cuma ngobrol via grup.
Keluarga kedua yang kalo ketemu salah satu anggotanya aja udah bisa bikin badmood seharian jadi ketawa-tawa sendiri seminggu.
Dan banyak hal lain yang ga bisa disebutin satu-satu. Suka duka senang susah sebel sayang benci cinta tiga taun bareng di asrama, satu taun LDR, dan terus sampe kelak ada di Surga-Nya. Semoga selalu jadi kenangan paling berharga kalau sama kalian.
Astonic Dralen Relaston. Ingat, sekarang dan selamanya kita akan selalu ada di tahap Winner. Semangat!!


-Seseorang yang sedang mencoba bertahan hidup tanpa kalian, ADR

Mencairkan Beku

Beku. Jemariku membeku. Jangankan menanyakan kabar. Mengetikkan tiga huruf sapaan pun aku tak bisa. Bukan. Bukan karena aku kehilangan keberanianku. Tapi karena kecanggungan ini sudah terlampau jauh. Terlampau menyiksa.

Beku. Pikiranku membeku. Hanya ada pemikiran yang memenangkan egoku. Pemikiran yang kubuat seolah-olah berlogika untuk terus mengutamakan egoku. Pemikiran yang membuatku terus menjerit meminta kepedulian. Padahal sejak lama aku memutuskan untuk berhenti peduli. 

Dingin. Semua kebekuan ini membuat sikapku dingin. Kecanggungan yang terlampau jauh ini membuat sikapku dingin. Pemikiran yang memenangkan egoku ini membuat sikapku dingin.

Malam-malam ketidaktenangan mulai menyapaku kembali. Menangis pun tak ada guna. Karena memang pusaran ini hanya membelitku. Membelit pikiranku. Membelit hatiku. Aku seakan sedang berperang pada cermin.

Hanya hatiku yang (kuharap) tidak membeku. Karena jeritan atas ketidakadilan sikapku mulai terdengar. Karena kesadaran bahwa aku sekarang sangat baik-baik saja dibanding keadaanmu mulai terasa menyentuh. Kenyataan bahwa kecanggungan ini dimulai ketika kepedulianku hilang ini mulai terlihat di pelupuk mata. 

Hanya membutuhkan satu kehangatan lagi untuk mencairkan segala kebekuan ini. 

Hangatnya keterbukaanmu padaku atas cerita hidupmu.

Kini hanya ada rangkaian kata seandainya.

Selalu terhanyut dalam sebuah pusaran mimpi jika ku melihat tempat ini. Seakan semua damai. Tak ada masalah. Menenangkan. Sama seperti saat melihat senyumnya.
Tunggu. Kenapa bayangan masa lalu itu tiba-tiba berkelebat?
Aku menggeleng-gelengkan kepalaku demi mengusir pikiran itu. Kembali ku arahkan mataku menuju air mancur yang sedang menari. Sesekali ku langkahkan kaki mendekat. Air mancur itu seakan menghipnotis.
Sepuluh meter mendekat, tiba-tiba aku tergugu. Menangis. Tiba-tiba saja kenyataan menghantamku. Seperti ada tinju telak menuju uluhati. Begitu menyakitkan.
Kenyataan pahit itu adalah bahwa aku tidak bisa mengulang waktu. Bahwa aku tidak bisa menyeret semua hal kembali. Bahwa yang sekarang ada hanyalah seandainya-seandainya.
Air mataku terus mengalir. Entah kenapa rasanya tidak bisa berhenti. Begitu pula pikiran yang terus berdentum-dentum.
Kenapa dulu aku begini? Kenapa dulu aku begitu? Kenapa aku dulu begitu tidak peduli? Kenapa dulu aku...
Seandainya dulu aku begini. Seandainya dulu aku begitu. Seandainya dulu aku tidak mengatakan hal ini. Seandainya dulu. Seandainya...
Kini hanya ada rangkaian kata seandainya.
Yang sampai kapanpun takkan pernah bisa mengmbalikan waktu.

Kadang Hanya Butuh Menangis

"Menangis gak akan menyelesaikan masalah"
Pendapat kebanyakan orang. Ya, gak ada yang salah soal itu. Emang menangis aja tuh gak akan menyelesaikan masalah.
Tapi kadang, yang kamu butuhin cuma menangis. Saat semuanya terasa menjadi masalah, terasa salah.
Kadang, kamu butuh menangis buat berpikir jernih.
Kadang, kamu butuh menangis buat  membersihkan hati dari segala dengki.
Kadang, kamu butuh menangis untuk melegakan hati. Mengeluarkan sebagian perasaan tertekan.
Buatku, ini terkadang efektif. Setidaknya meluap dulu emosi.
Baru setelah itu memikirkan cara untuk keluar dari masalah.
Tapi yang paling terpenting adalah, jangan lupa libatkan Allah dalam setiap perenungan, pengambilan jalan. Entah dapet kutipan darimana.

Sepenggal Kisah di Penghujung Senja (1)

Asap putih mengepul dari cangkir berwarna jingga itu. Seorang gadis memainkan tangannya di bibir cangkir itu. Sebuah novel tergeletak terbuka di atas meja. Matanya yang berbingkai kacamata itu bergerak-gerak mengikuti kata demi kata dalam buku yang ia baca. Sambil sesekali membuka halaman.
Terpaut dua meja dari gadis itu, dalam kafe yang sama, seorang pemuda memperhatikan setiap gerak-gerik gadis itu. Setiap ekspersi yang diperlihatkan gadis itu selalu menarik perhatiannya. Sesekali ia mengangkat kameranya untuk mengabadikan gadis yang seperti tenggelam dalam buku yang ia baca.
Pria berkaus biru langit itu memperhatikan gadis itu sekali lagi. Memasukkan semua detail tentang gadis itu ke dalam ingatannya. Cangkir jingga, yang ia yakin bukan milik kafe itu. Kacamata hitam keunguan. Mata bulat. Pipinya yang tembam. Kemeja hijau tosca. Rok panjang hitam. Juga tas berwarna tosca yang ia geletakan di kursi sampingnya.
Pintu kafe terbuka. Gadis berbaju cokelat memasuki kafe yang semakin siang semakin sesak oleh pengunjung. Perhatian pemuda itu beralih. Ia tersenyum saat mengenali sosok yang mendekati meja gadis bercangkir jingga itu.
Ia melirik lagi meja gadis itu. Gadis bercangkir jingga, pikirnya geli. Tapi itu bisa menjadi julukan yang bagus untuk gadis tersebut.
Entah karena dorongan apa, akhirnya pemuda itu berdiri dan melangkah menuju gadis bercangkir jingga itu yang sedang mendongakan kepalanya ke arah gadis berbaju coklat itu.
***
“Jingga! Kamu ini. Selalu saja tidak memperhatikan sekitar kalau sedang baca buku,” cerocos gadis berwajah cantik itu. Mulutnya ditekuk ke bawah untuk menunjukkan kekesalannya.
Gadis yang dipanggil Jingga itu mendongak sambil tersenyum simpul. Gadis itu pun mengambil tas toscanya dan mempersilakan sahabatnya itu untuk duduk.
“Sini duduk dulu Ara,” katanya santai sambil menaruh tas tosca miliknya di atas meja.
Ara, gadis berbaju coklat itu menurut tapi masih memajukan bibirnya tanda ia sedang kesal. Ia pun memperhatikan sahabatnya yang entah kenapa telah tenggelam lagi dengan novel dihadapannya. Ara mendengus. Apa ia kurang menarik untuk diperhatikan? Bahkan sahabatnya pun lebih memilih untuk mencurahkan seluruh perhatiannya pada sebuah novel.
Akhirnya Ara memutuskan pergi ke etalase kue karena ia yakin sahabatnya tidak akan selesai dalam setengah jam kedepan. Daripada ia bosan dan kelaparan menunggu Jingga, lebih baik ia menyingkirkan satu kemungkinannya.
“Ara!”
Kepala Ara berputar cepat mencari suara yang memanggilnya. Matanya membelalak ketika menyadari pria berkaus biru langit sedang berdiri sambil melambaikan tangannya dua meja darinya. Ia tersenyum ketika menyadari pria itu adalah Rama, tetangga masa kecilnya. Langkah kaki Ara pun berbalik menuju meja Rama.
“Hei! Kamu lagi ngapain disini, Ram?” kata Ara saat ia mencapai meja Rama.
Rama menjawab dengan mengangkat cangkir teh dan kameranya. Ara mengangguk-angguk mengerti apa yang dimaksud Rama. Sejak kecil memang teh dan kamera adalah hidupnya Rama. Dimanapun dan kapanpun, Rama pasti sedang ditemani teh dan atau kameranya.
“Siapa dia?” tanya Rama mengagetkan. Ara tak menyangka bahwa Rama akan menanyakan sahabatnya, si maniak novel itu.
“Dia sahabatku, Jingga. Maniak novel. Kalau kamu cari teman mengobrol, akan kucarikan temanku yang lain. Ia sangat mebosankan. Sungguh. Apalagi jika sudah baca novel. Kamu bakal dikacangin seharian. Tujuh hari tujuh malampun aku pernah,” cerocos Ara yang sepertinya memang sedang kesal dengan sahabatnya itu.
“Nama yang unik. Jingga. Aku yakin ia tak semembosankan itu. Karena kalau iya kamu sudah angkat kaki dari sini saat melihatnya sedang membaca novel,”
“Ya, kamu benar sih. Ia sahabat yang luar biasa kalau kamu sudah bisa masuk ke lingkaran kecilnya,”
“Hmm?”
“Ah, kamu akan tau kalau sudah kenal. Ayo kukenalkan,”
Ara melangkah ke arah mejanya lagi dengan Rama mengikuti di belakangnya sambil tersenyum simpul.
***
Jingga tidak menyangka akan mendapat gangguan yang sangat besar saat Ara kembali ke meja. Biasanya Ara akan diam sambil makan sepiring kue atau mengutak-atik gadget. Untuk kali ini, bahkan sebelum Ara duduk, ia sudah menarik novel di meja.
Jingga mendengus sembari mengangkat kepalanya. Ia bersiap menyemprot sahabatnya itu saat ia menyadari cengiran Ara yang tak biasa. Juga seseorang dibelakangnya. Pria berkaus biru langit itu tersenyum saat tatapan mereka bertemu. Jingga merasakan jantungnya berdetak sedikit lebih kencang.
“Jingga, hidupmu bukan cuma novel. Kalau kamu tadi berkeliling sedikit saja kamu pasti sudah dapat pacar,” kata Ara sambil menunjukkan giginya yang sangat rapi.
Jingga mendengus. Ia tidak peduli dengan sekeliling apalagi pacar. Yang ia pedulikan sekarang kenapa sahabatnya itu merebut novel yang sedang ia baca. Padahal seperti ada aturan tak tertulis bahwa jika jingga sedang membaca novel atau mengamati langit senja, Ara tidak akan mengganggu. Begitupun jika Ara sedang di salon atau nonton drama korea, Jingga tidak akan mengganggu.
“Jingga kenalkan ini tetanggaku dulu, Rama,” kata Ara sambil menunjuk pria berkaus biru langit di belakangnya.
Jingga berdiri dan melambaikan tangannya.
“Hai Rama! Kenalkan aku Jingga sahabat tetanggamu yang sangat mengesalkan itu,”
Jingga berkata sambil mencoba tersenyum, yang entah kenapa otot-otot wajahnya seakan menolak. Sehingga terciptalah senyum yang terkesan sinis.
Ara berjengit melihat senyum Jingga. Ini akan menimbulkan kesan buruk bagi Rama. Ara yakin. Jingga pun menyadari arti jengitan sahabatnya itu.
Namun tak seperti yang disangka, Rama tertawa melihat kedua gadis itu. Jingga dan Ara sontak menoleh. Rama masih tertawa pelan.
“Kalian berdua lucu deh. Sahabatan tapi saling ngatain. Aku boleh gabung ya. Ga seru kalo sendirian,” kata Rama masih sambil tertawa.
Seketika Jingga melihat raut menyenangkan dari wajah Rama. Tawanya pelan tapi bisa membawa siapa saja yang mendengarnya ikut tertawa. Begitupun Jingga. Karena tanpa sadar ia sudah terkekeh.
Satu jam berikutnya pun berlalu cepat. Meja itu dipenuhi gelak tawa ketiga remaja itu. Tak ada lagi Jingga yang sibuk sendiri membaca novel atau Ara yang sibuk mendengus dan menggerutu.
***

Untuk apa blog ini?

Jadi, karena kegabutanku mulai menunjukkan tanda-tanda tidak baik dan akan berujung pada kemalasan, aku memutuskan untuk mebuat blog. Setidaknya ada hal bisa aku lakukan disaat malas atau kebanyakan waktu sedang melanda. Semoga blog ini bisa bermanfaat bagi siapapun yang membacanya. Terimakasih