Mencairkan Beku

Beku. Jemariku membeku. Jangankan menanyakan kabar. Mengetikkan tiga huruf sapaan pun aku tak bisa. Bukan. Bukan karena aku kehilangan keberanianku. Tapi karena kecanggungan ini sudah terlampau jauh. Terlampau menyiksa.

Beku. Pikiranku membeku. Hanya ada pemikiran yang memenangkan egoku. Pemikiran yang kubuat seolah-olah berlogika untuk terus mengutamakan egoku. Pemikiran yang membuatku terus menjerit meminta kepedulian. Padahal sejak lama aku memutuskan untuk berhenti peduli. 

Dingin. Semua kebekuan ini membuat sikapku dingin. Kecanggungan yang terlampau jauh ini membuat sikapku dingin. Pemikiran yang memenangkan egoku ini membuat sikapku dingin.

Malam-malam ketidaktenangan mulai menyapaku kembali. Menangis pun tak ada guna. Karena memang pusaran ini hanya membelitku. Membelit pikiranku. Membelit hatiku. Aku seakan sedang berperang pada cermin.

Hanya hatiku yang (kuharap) tidak membeku. Karena jeritan atas ketidakadilan sikapku mulai terdengar. Karena kesadaran bahwa aku sekarang sangat baik-baik saja dibanding keadaanmu mulai terasa menyentuh. Kenyataan bahwa kecanggungan ini dimulai ketika kepedulianku hilang ini mulai terlihat di pelupuk mata. 

Hanya membutuhkan satu kehangatan lagi untuk mencairkan segala kebekuan ini. 

Hangatnya keterbukaanmu padaku atas cerita hidupmu.

0 komentar:

Posting Komentar